Praanggapan, implikatur, inferensi
dan Dieksis
Oleh: Sulistriani (156047) / 2015
A
A. Pendahuluan
Wacana dapat dikatakan sebagai salah satu satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau
terbesar di atas sebuah kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang saling berkesinambungan atau berhubungan serta mempunyai awal dan akhiran yang nyata baik disampaikan secara lisan dan tertulis.
Alasan
dalam membuat essai makalah yang berjudul “Praanggapan, implikatur, inferensi,
dan dieksis” yakni model analisis wacana yang dimiliki beberapa ahli tentunya
memiliki perbdaaan. Untuk itu, Tujuan penulisan ini yakni dapat dijadikan
sebagai bahan referensi bagi si pembaca dalam megetahui model-model analisis
wacana dari para ahli.
B. Kajian Teori
1. Definisi
Menurut
Filmore dalam Rani
(2006:168),
dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkat-tingkat komunikasi yang
implisit atau praanggapan dan eksplisit atau ilokusi. Sebagai contoh , ujaran
dapat dinilai tidak relevan atau salah bukan hanya dilihat dari segi cara
pengungkapan peristiwa yang salah pendeskripsiannya, tetapi juga pada cara
membuat praanggapan yang salah.
Kesalahan
membuat praanggapan mempunyai efek didalam sebuah ujaran, ujaran yang dimaksud
dalam hal ini yakni percakapan (dialog) manusia. Dengan kata lain, praanggapan
yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan.
Contoh :
(1) Ayah
saya datang dari Surabaya.
Dalam contoh (1)
Praanggapannya adalah : 1) saya mempunyai ayah; 2) ayah ada di Surabaya. Oleh
karena itu, fungsi praanggapan membantu mengurangi hambatan respon orang
terhadap penafsiran suatu ujaran.
Menurut Leech dalam Rani (2006:168), praanggapan harus
dianggap sebagai dasar kelancaran wacana yang komunikatif. Apabila dua orang
terlibat dalam suatu percakapan, mereka saling mengisi latar belakang
pengetahuan yang bukan hanya pengetahuan terhadap situasi pada waktu itu,
tetapi pengetahuan terhadap dunia pada umumnya. Begitu percakapan berlanjut,
dalam arti unsur-unsur baru semakin bertambah. Pernyataan dari suatu proposisi
menjadi praanggapan bagi ujaran selanjutnya. Dalam dua contoh dibawah ini,
praanggapan yang mendasarinya berbeda :
(1)
Danu
menangis sebelum dia menyelesaikan pekerjaan tangannya.
(2)
Danu
meninggal sebelum dia dapat menyelesaikan pekerjaan tangannya.
Dalam ujaran (2) praanggapan yang timbul adalah bahwa Danu dapat
menyelesaikan pekerjaan tangannya, sedangkan dalam (3) tidak.hal itu diketahui
berdasarkan pengetahuan kita tentang dunia. Seorang yang sudah meninggal tidak
mungkin melakukan sesuatu dikutip dari pendapatnya Levinson
dalam Rani (2006:168) jadi apabila (3) dikembangkan dan
didapati bahwa Danu dapat menyelesaikan pekerjaan tangannya, kedua ujaran itu
tidak sesuai. Dengan kata lain, simpulan bahwa Danu menyelesaikan pekerjaan
tangannya tidak relevan dengan (3). Contoh lain :
(3)
Apakah si Boncel masih pemabuk?
Cara menarik sebuah praanggapan dari sebuah pernyataan (ujaran). Perlu
diingat bahwa praanggapan adalah sesuatu yang dijadikan oleh si penutur sebagai
dasar penuturnya (Rani, 2006:170). Contohnya:
(1) Kami tidak jadi berangkat.
(2) Mobil kami rusak.
Leksikon yang dipakai penutur dapat ditarik praanggapan sebagai berikut.
Kata tidak jadi berangkat membawa pengertian bahwa kami seharusnya
berangkat. Sedangkan, mobil pada kalimat (2) membawa praanggapan bahwa
kami mempunyai mobil. Jadi, praanggapan kedua kalimat di atas adalah : (a) Kami seharusnya berangkat, dan (b) Kami mempunyai mobil.
Jadi, Praanggapan (presupotition)
berperan penting dalam menetapkan ketentuan (koheren) wacana karena setiap
percakapan yang selalu digunakan tingkat-tingkat komunikasi.
B. Implikatur
Konsep implikatur dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memecahkan
persoalan bahas ayang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa.
Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang dimaksud oleh penutur sebagai
halyang berbeda dari yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule).
Contoh: panas disini bukan?
Maka secara implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan
atau jendela dibuka.
Menurut
Gice dalam Rani (2006:170) dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang
disebut implikatur konvensional yaitu implikatur yang ditetukan oleh arti
konvensional kata-kata yang dipakai. Anlisis wacana
adalah konsep implikatur percakapan yang diturunkan dari asas umum percakapan
ditambah sejumlah prinsip (maxims) yang biasanya dipatuhi para penutur dikutip
dari Brown dan Yule dalam Rani
(2006:171).
Prinsip kerjasama ditopang oleh
spernagkat asumsi dapat disebut juga dengan prinsip-prinsip percakapan (maxims of converstasion).
Yaitu (1) prinsip kuantitas berikan sumbangan anda seinformatif (dengan tujuan
pertukaran yang sekarang) jagan memberikan informasi melebihi yang dibutuhkan.
(2) prinsip kualitas jangan mengatakan apa yang menurut anda tidak benar dan
jangan meyakini bukti kebenaran yang kurang meyakinkan. (3) prinsip hubungan
usahakan perkataan anda ada relevansinya, dan (4) hindari pernyataaan yang samar,
krtksaaan,usahakan agar ringkas, agar bicara dengan teratur dikutip
dari pendapat Grice dalam Rani (2006:172).
Menurut
Levinson dalam Rani (2006:173) ada empat faedah implikatur, yaitu: (1)
memberikan penjelasan makna yang tidak terjangkau oleh teori linguistik, (2)
memberikan penjelasan tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud sipemakai
bahasa , (3) memberikan pemerian semantikyang sederhna tetang ubungan lausa
yang dihubungka denga ata penghuung yang sama., dan (4) memberikan fakta scra
lahiriah keliahatan tidak berakaitan,malah berlwanan (seperti metafora). Dari keterangan itu jelas
bahwa kalimat lahiriah tidak berkaitan, tapi menurut orang yang mengerti
pengguanana bahasa dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh pembicara
seperti :
Suami : “ Si Cuplis menangis minta mimik ibunya!”
Istri :”Saya sedang menggoreng
Kedua kalimat diatas secara struktural tidaklah berkaitan, tapi menurut
yang ahlibhasa akan mengerti kalimat dari keduanya yaitu si Istri tida menjawab
ujaran Suami bahwa si Cuplis menangis karena diduga suaminya si Cuplis haus
ingin minum susu Ibunya, tetapi hanya menyatakan bhwa dirinya sedang menggoreng.
Unsur bahasa baik unsur segmental maupun non segmental merupakan unsur
penting untuk menyampikan pesan dalam berkomunikasi. Makna ujaran yang
digunakan dalam berkmunikasi tidak
selalu selaras dengan kata-kata yang digunakan dalam ujaran.
Meskipun kata dalam ujaran sangat menetukan maknanya namun kadang-kadang
kata-kata itu hilang dan digantikan oleh makna lain contoh dalam bahasa Jawa Njanurgunung
digunakan ketika teman jarang main
bersama kita namun bahasa itu diganti oleh kadengaren. Padahal dalam
bahasa Jawa Janur memiliki arti daun pohon kelapa yang masih muda dan
nasalisasi N pada kata njanur memiliki arti “bersifat seperti”.
Berdasarkan pengalaman rakyat, di gunung itu tidak ada pohon kelapa sehingga
pembentukan kata njanurgunung itu sebenarya tidak logis namun
kreativitas menerimanya dengan mengasosiasikan pohon kelapa dengan pohon aren,
karena pohon aren mirip dengan ohon kelapa dan pohon aren terdapat di gunung.
Di sini aren digunakan untuk mengacu pada kata kadengaren (Rani
2006:174-175).
Dalam
kegiatan berbahasa sehari-hari kita dapat memahami ujaran yang disampaikan oleh
mitra tutur kita. Menurut Chomsky dalam Rani (2006:176) kemampuan yang dapat
kita melakukan itu adalah penguasaan kita terhadpkaidah bahasa secara intuitif
ujaran yang diucapkan mitra tutur kita
itu apik atau tidak apik mampu mempertimbangkan fakta sintaksis bahasa
yang digunakann kaidah itu oleh Chomsky disebut kompetensi linguitik. Kompetensi linguistik
seorang penutur itu terbatas temaruk seorag ahli bahasa. Seorang penuturhampir
semua tidak menguasai bahasanya
karena bahasa itu bersifat kompleks dan kreatif Clark dan Clark
dalam Rani (2006:176).
Implikatur yang terdapat
pada karya sastra asing bagi para pembelajaran bahasa. Para pembelajar yang
tidak mempunyai kompetensi linguistic yang memadai akan mengalami frustasi
dalam memahami implikatur dalam karya sastra asing. Istlah implikatur
berantonim dengan kata eksplikatur. Menurut Grice (Rani
2006:177) Istilah implikatur diartikan sebagai “whata speaker can imply, suggest, or mean,
as distinct from what a speaker literally says”. Senada dengan itu, Pratt (Rani
2006:177) menyatakan “what
is said is implicated together from the meaning of the utterance in that contect.”Dari pengertian diatas, ketahui
implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan
oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Menggunakan implikatur dalam
berkomunikasi berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung.
Contoh:
(konteks: udara sangat
dingin. Seorang suami yang mengatakan pada istrinya yang sedang
berada disampingnya). Suami: “Dingin sekali!”
Transkrip ujaran suami istri
yang tidak disertai dengan konteks yang jelas dapat ditafsirkan bermacam-macam,
antara lain
a)
Perintah
kepadaa istrinya untuk mengambilkan baju hangat, jaket atau selimut atau
minuman hangat untuk menghangatkan tubuhnya;
b)
Perintah
kepadaa istrinya untuk menutup jendela agar angin tidak masuk kamar sehigga
udara didalam ruangan menjadi hangat;
c)
Pemberitahuan
kepada istrinya secara tidak langsung bahwa kesehatanya sedang terganggu;
d)
Permintaan
kepada istrinya agar ia dihangatkan dengan tubuhnya.
Contoh diatas adalah “informasi bahwa keadaaan (saat itu sangat dinggin)
dari sini terlihat jelas perbedaan makna implikatur dan makna eksplikatur.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari masyrakat bahasa
sering mengunakan implikatur (percakapan) untuk tujuan-tujuan tertentu misalnya
memperhalus proporsisi yang diujarkan dalam menyelamatkan (saving face). Implikatur banyak juga digunakan dalam kalangaan
politikus untuk mengaburkaan maksut yang dikatakan, biasanya untuk menghindari
hujatan lawannya, seeorang politikus sering menyembunyikan dibalik implikatur.
Implikatur dapat dibedakan menjadi beberapa macam berdasarkan bentuk
eksplikaturnya, pertama implikatur yang berupa makna yag tersirat dari semua
ujaran (between the line) merupakan
implikatur yang sederhana, kedua implikatur yang berupa makana yana tersorot
dari sebuah ujaran (beyond the line)
implikatur tersebut merupakan bentuk dari implikatur jenis pertama
(Rani, 2006: 177-178).
Makna
ujaran pada contoh diatas tergantun pada konteksnya, ujaran dits merupakan
ujaran yang bermakna sebagai janji, informasi, pernyataan maksut yang disebut
tindak ttutur, dengan demikan ujaran ditas masih bermakna ambiguits atu
bermakna ganda apabila tidak dissertai konteks peggunaannya. Perbedaan konteks, baik
konteks linguistic mupun konteks etografi, dapat membedakan makna suatu bentuk
lingustik. Terdapat tiga tahap dalam memahami implkatur degan cara berikut:
1.
pemaaman
proporsi eksplikatur
2.
mencocokan dengan
konteks(jika proporsi eksplikatur tidak cocok maka dapat dilanjutkan dengan
tahap selanjutnya)
3.
mengubah
pemahaman proporsisi sesuai degan konteks dengan cara mencari:
a)
Makna ujaran
kelanjutan
b)
Makna
asosiasinya
c)
Makna ironya
dan
d)
makna yang hilang
Jadi, pengertian implikatur
adalah sesuatu yang dapat dipakai untuk memperhitungkan dengan apa yang
dimaksud oleh penuturnya.
C. Inferensi
Inferensi atau penarikan simpulan dikatakan oleh Gumperz (Rani,
2006: 183) sabagai proses interpretasi yang ditentukan oleh
situasi dan konteks percakapan. Dengan inferensi, pendengar menduga kemauan
penutur dan, dengan itu pula, pendengar meresponsnya. Inferensi tidak hanya
ditentukan oleh kata-kata pendukung ujaran, malainkan juga didukung oleh
konteks dan situasi.
Sering terjadi apa yang dimaksud penutur tidak sama dengan apa yang
dianggap oleh pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat
merespons balik atau sering juga terjadi si penutur mengulang kambali ujarannya
dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi pendengar. Mungkin,
apa yang dimkasud penutur tidak dapat ditanggapai pendengar seluruhnya. Gagasan
yang ada dalam otak penutur direalisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Lubis (Rani,
2006: 183)
Contoh:
A : “Saya baru bertemu
dengan si Toni.”
B : “Oh, si Toni kawan
kita SMA dulu itu?”
A : “Bukan, tapi Toni
kawan kita SMP dulu.”
B : “Toni yang gemuk itu?”
A : “Bukan, bukan Toni
yang gemuk, tapi Toni yang kurus.”
B : “Oh, ya, saya tahu.”
Ujaran pertama si B salah tanggap (salah pemahaman). Pemikiran yang tergambar
dibenaknya adalah si Toni teman SMA. Setelah diterangkan oleh si A bahwa Toni
itu teman SMP, si B salah tanggap lagi, karena yang diduga adalah Toni yang
bertubuh gemuk. Sesudah kalimat yang ketiga dari si A, barulah B paham siapa si
Toni sebenarnya.
Walaupun tanggapan tentang si Toni sudah jelas, akan tetapi apa yang
dipikirkan oleh si A tidaklah dapat ditanggapi seluruhnya oleh si B karena
masih banyak hal yang masih tersembunyi, misalnya kapan si A bertemunya, dimana
bertemunya, berapa jam, bagaimana cara bertemunya, dan sebagainya. Oleh sebab
itu, dapat dikatakan bahwa yang ditanggapi pendengar dari ucapan penutur itu
hanya beberapa bagian saja dan tidak seluruhnya.
Aspek inferensi yang menarik yang memetik ialah bahwa inferensi merupakan
sebuah penafsiran yang mudah hilang dari pembaca jika tidak cocok dengan
informasi berikutnya. Kalimat berikutnya dari teks tersebut ialah sebagai
berikut :
Ø Minggu yang lalu dia tidak dapat mengendalikan kelasnya.
Setelah mengetahui kalimat itu, kabanyakan pembaca memutuskan bahwa Joni
kenyataannya ialah seorang guru dan dia kurang bahagia.
Contoh tersebut sebenarnya memberikan gambaran kepada kita tentang cara-
cara membangun penafsiran tentang apa yang hanya kita baca / dengar dengan
menggunakan lebih banyak informasi daripada kata-kata yang terdapat dalam teks,
yaitu kita benar-benar menciptakan apa yang sebenarnya terkandung dalam teks
berdasarkan harapan-harapan kita akan apa yang bisa terjadi.
Jadi, Inferensi dapat disebut
juga penarikan kesimpulan, suatu proses interpretasi yang ditentukan oleh
situasi dan konteks percakapan.
D. Dieksis
Dieksis adalah cara merujuk pada suatu hal yang
berkaitan erat dengan konteks penutur (Kushartanti, 2009: 111)
Contoh:
Besok saya akan menunggu kamu disini.
Didalam ujaran tersebut, kata saya merujuk
pada seseorang yang mengucapkan kalimat itu dan bukan diri kita sendiri. Kata besok
merujuk pada hari sesudah hari tersebut diucapkannya ujaran. Disini merujuk
pada tempat sipenutur. Semua hal itu berkaitan dengan dieksis. Ada tiga jenis
dieksis, yaitu dieksis ruang,dieksis persona dan dieksis waktu. Ketiga jenis
dieksis ini bergantung pada interpretasi penutur dan mitra tutur, atau penulis
dan pembaca, yang berada didalam konteks yang sama (Kushartanti, 2009:111).
1. Dieksis Ruang
1. Dieksis Ruang
Dieksis ruang berkaitan dengan lokasi relatif penutur
dan mintra tutur yang terlibat didalam interaksi. Didalam bahasa Indonesia,
misalnya, kita mengenal disini, disitu dan disana. Titik tolak
penutur diungkapkan dengan ini dan itu.
Contoh:
a. Duduklah kamu di sini.
b. Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa di sini pada kalimat (a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (b), acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau tempat penjualan yang lain.
a. Duduklah kamu di sini.
b. Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa di sini pada kalimat (a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (b), acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau tempat penjualan yang lain.
1. Dieksis Persona: Dieksis persona dapat dilihat pada bentuk-bentuk pronomin.
Bentuk-bentuk pronomina itu dibedakan atas pronomina orang pertama, pronomina
oarang kedua, dan pronomina orang ketiga. Didalam bahasa Indonesia bentuk ini
mash dibedakan atas bentuk tunggal dan bentuk jamak sebagai berikut.
|
|
Tunggal
|
Jamak
|
|
Orang
pertama
Orang
kedua
Orang
ketiga
|
Aku,
saya
(eng)kau,
kamu, anda
Ia,
dia, beliau
|
Kami,
kita
Kamu
(semua), anda (semua), kalian
Mereka
|
2. Dieksis Waktu: Dieksis waktu berkaitan dengan waktu relatif penutur
atau penulis dan mitra tutur atau pembaca. Penggungkapan waktu didalam bahasa
berbeda beda. Bahasa Indonesia mengungkapkan waktu dengan:
|
Waktu sekarang
|
Kini, tadi
|
|
Waktu lampau
|
Dulu
|
|
Waktu relatif
|
Hari ini, kemarin dan besok
|
|
Waktu yang akan datang
|
Nanti
|
Contoh:
a.
Saya membeli buku itu kemarin.
b. Aku membeli buku itu 2 tahun yang lalu
b. Aku membeli buku itu 2 tahun yang lalu
Jadi, yang dimaksud dengan
dieksis adalah cara
merujuk pada suatu hal yang berkaitan erat dengan konteks penutur. Dieksis terbagi menjadi empat; 1) Dieksis ruang, 2) Dieksis persona, 3)
Dieksis waktu, dan 4) Dieksis sosial.
Contoh Wacana
(Praanggapan)
Ibu: Ani, adikmu belum makan.
Ani: Ya, Bu. Lauknya apa?
Sumber:
Tarigan,
Henry G. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar