KAJIAN WACANA
Oleh: Sulistriani (156047) / 2015
A
A. Pendahuluan
Pragmatik
pada dasarnya sebuah makna tuturan, makna yang kaitannya dengan intralinguistik
dan ekstralinguistik, serta sesuatu yang berhubungan dengan konteks. Secara
umum, pragmatic dikenal sebagai cabang ilmu linguistik yang membahas tentang
strukur bahasa. Ruang lingkup pragmatik memang bisa dikatakan begitu luas. Hal
ini dapat menimbulkan kebingungan para ilmuwan terhadap kajian analisis wacana,
para ilmuwan sulit untuk melakukan pendekatan bahkan memahami teori dalam
bidang pragmatik.
Analisis
percakapan dalam kajian wacana dikatakan sebagai sebuah kegiatan proses
pengamatan dari ujaran yang timbul dari suatu ujaran. Adanya pertimbangan yang
terdapat pada analisis percakapan yakni menganalisis maupun mengkaji tentang
konteks dari sebuah percakapan. Analisis percakapan berbeda dangan cabang sosiologi lain
karena bukan hanya menganalisis aturan sosial saja, analisis percakapan juga
mencari untuk menemukan cara atau metode yang digunakan anggota masyarakat
untuk menghasilkan makna aturan sosial, misalnya: Percakaan memproduk beberapa
kekhasan (ciri khas) yang mendasari arti peran sosial kata ( Ciccourel,
1972).
Alasan
dalam membuat essai makalah yang berjudul “Menjelaskan Ranah Kajian Wacana”
yakni seseorang dalam memahami sebuah wacana tidak hanya cukup mengetahui
pengertian, dan bentuknya saja, akan tetapi pemahaman tentang kajian wacana pun
perlu diketahui sebagai pondasi atau referensi dalam mengkaji wacana. Untuk
itu, Tujuan penulisan ini yakni dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi si
pembaca dalam mengkaji sebuah wacana.
B. Kajian Teori
1. Definisi
1. Pengertian Pragmatik
Menurut Purwo (1990:16) mendefinisikan pragmatik
sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terkat
konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secaea pragmatik ialah memperlakukan
bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa
komunikasi (Purwo, 1990:31)
Menurut Morris (1938), pragmatik didefinisikan
sebagai suatu cabang semiotik, ilmu tentang tanda. Morris memandang semiosis
(proses dimana sesuatu berfungsi sebagai tanda) mempunya 4 bagian yaitu tanda (sign), penanda (designatum), interpretant
dan interpreter.
Menurut Verhaar (1996:14), pragmatik merupakan cabang
ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai
alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacu tanda – tanda
bahasa pada hal – hal ekstralingual yang dibicarakan.
Jadi, yang dimaksud dengan pragmatik
adalah cabang ilmu linguistik yang membahas tentang strukur bahasa. Ruang
lingkup pragmatik memang bisa dikatakan begitu luas.
Konsep pokok dari pragmatik model Grice terdiri dari
makna penutur dan prinsip kerja sama (PK):
a. Makna Penutur
Grice mengemukakan konsep utama
yang terpenting
dari pragmatik adalah makna penutur. Sebagaimana telah diketahui, sebuah makna penutur tidak
hanya memberikan perbedaan antara dua hal makna (pembagian antara makna
semantik dan makna pragmatik)
saja,
akan tetapi juga memberikan pandangan
definite tentang komunikasi manusia yang memfokuskan pada maksud serta tujuan. Grice (1957) memisahkan makna
non-alami (meaning-nn) dari makna alami. Makna alami adalah ketiadaan maksud dan tujuan manusia Keistimewaan dalam kajian makna non-alami adalah
cenderung sudah
dikenali secara khusus oleh penerima. dalam definisi makna non-alami ini adalah
maksud kedua, dimana penerima mengenali maksud komunikasi penutur.
b. Prinsip Kerja Sama (PK)
Pokok pembahasan
memusatkan pada konsep implikatif, kesimpulan telah mengerucutkan tentang
maksud penutur yang timbul dari penggunaan makna semantik dan prinsip-prinsip
percakapan oleh penerima. Apabila penutur dan lawan tutur dalam pertuturan itu
menaati prinsip-prinsip kerja sama seperti dikemukakan oleh Gries (1975:
45-47), antara lain:
1)
Maksim
kuantitas :
Informasinya luas, singkat
dan tidak berlebihan.
2)
Maksim
kualitas :
Penyajian informasi yang
benar-benar terjadi (fakta).
3)
Maksim
hubungan : Kesesuaian
pokok pembicaraan dengan pokok pembicaraan yang sebelumnya.
4)
Maksim
cara: Cara
menyampaikan dengan bahasa yang tepat dan tidak berlebihan.
2. Acuan Peristilahan Proses
Pragmatik Dalam Wacana
Pragmatik model Grice telah memberikan
sebuah cara untuk menganalisis inferensi makna penutur. Bagaimana mitra tutur
menduga maksud yang mendasari tuturan penutur. Prinsip kerja sama (PK) dapat
membantu untuk menetapkan cara informasi dari satu tuturan memberikan pada
makna tuturan yang lain, dengan (cara) demikian menambah pada pengetahuan kami
tentang hubungan antartuturan.
a. Acuan Sebagai Sebuah Proses
Pragmatik Dalam Wacana
Searle (1969:bab 4)
memadang, reverensi sebagai tindak tutur, yang diatur oleh: kondisi-kondisi
yang serupa dengan yang mengatur performansi tindakan, seperti berjanji atau
meminta. Clark
dan Wilkes Gibbs (1986) lebih lanjut berbicara tentang referensi sebagai”proses
kolaborasi”. Akan tetapi, Grice sendiri tidak mempertimbangkan referensi secara
detail. Grice memasukan”identitas beberapa referensi yang mungkin terlibat”
(1975:50), bersama dengan makna konvensional dari kata-kata, sebagai bagian
dari informasi yang dipercaya dalam perhitungan implikatur yang bersifat
percakapan. Referensi yang tidak terhitung dari lingkup pragmatik ini
menyarankan atau mengusulkan bahwa identitas referensi tidak diduga melalui
penggunaan PK (Clark, 1975).
b.
Analisis
Pokok Model Grice: Kuantitas Dan Relevasi
Maksim-maksim model Grice tentang
kuantitas dan relevansi. Sama pentingnya dengan kuantitas dari infornasi yang
disampaikan dalam acuan peristilahan yang kusus, tetapi relevan dengan
informasi tersebut (Kronfel:1990) berbeda antara fungsional dan relevansi
percakapan. Terkait
dengan sebuah contoh yang memusatkan perhatian tidak hanya pada paragmatis,
tetapi juga sintakmatis, dan pilihan – pilihan diantara acuan peristilahan.
c.
Acuan
Sebagai Proses Wacana
Acuan dapat dilihat sebagai tahapan
problem dari menganalisis acuan peristilahan”saja”, dalam ranah menganalisis
tahapan acuan: bagaimana reverensi dimulai? Bagaimana reverensi dilanjutkan?
Pembatasan dalam perspektif ini sangat penting karena membuat kami memandang
reverensi dalam peristilahan dikenal pada analisis wacana. Analisis wacana
memfokuskan pada tahapan pola – pola misalnya: klausa, gerakan, dan tindakan. Alasannya,
karena wacana menciptakan pilihan – pilihan sintagmatis. Wacana sering kali
sianggap sebagai pembatas. Kejadian tentang apa yang didengar sebagai
pertanyaan misalnya: membatasi cara sebuah tuturan yang akan didengar misalnya
sebagai jawaban.
d.
Pentingnya
Metode Dan Data
Sebelum
melanjutkan untuk menerapkan pragmatik model Grice, beberapa persoalan yang muncul penting untuk
membuat observasi tentang metode dan data. Pragmatik kontemporer adalah bagian
dari linguistik (Levinson,1983) yang mengambil data konteks sebuah hipotesis
dan menyebutnya tuturan (misalnya, Cole, 1981). Tetapi jika ingin menggunakan
pragmatik model Grice sebagai ancangan pada analisis wacana yang dilakukan
untuk menganalisis bagaimana orang menggunakan tuturan untuk berkomunikasi satu
sama lain, selanjutnya kami perlu membuat macam – macam penyesuaian yang akan
dibuat dalam bagaian ini.
Kesimpulan
untuk mendasari gambaran Debora tentang pragmatik model Grice pada acuan
peristilahan dalam sebuah cerita bermakna bahwa analisis tersebut dibantu atau
ditunjukkan dalam bagian yang besar dan yang abstrak antara maksim – maksim dan
mencoba menemukan contoh – contoh yang memperkuat (menyangkal) relevansi
tersebut.
e. Analisis Sampel: Tahapan Acuan
Dalam Cerita
Analisis
sampel dalam bagian ini berdasarkan pada ekspresi-ekspresi penunjuk dalam
wacana khusus-sebuah narasi. Cerita
adalah teks yang berguna untuk menganalisis acuan peristilahan. Dalam
menceritakan sebuah cerita, penutur mengontrksi, sebuah dunia cerita di mana
kesatuan-kesatuan yang jumlahnya terbatas bertindak dan berinteraksi satu sama
lain dalam sebuah tempat dan dalam
jangka waktu yang ditentukan.
f. Ringkasan:
Tahapan, Relevansi, dan Kuantitas Acuan
Grice menerapkan analisis
wacana adalah dengan memberikan deskripsi tentang kondisi pragmatis selama
istilah acuan yang berbeda diinterpretasikan. Maksim kuantitas membantu membimbing
H menuju infomasi yang bisa menyediakan petunjuk tentang identitas referen.
Maksim relevansi mengarahkan H untuk menyelidiki relevansi referen definite,
walaupun maksim-maksim tersebut melakukan pekerjaan yang serupa untuk
penyebutan pertama dan penyebutan berikutnya, urutan lokasi referen (penyebutan
pertama, penyebutan berikutnya) memengaruhi sumber informasi dalam relevansinya
dengan interpretasi. Penyebutan pertama diinterpretasikan secara tekstual dan
kontekstual dengan asumsi latar belakang yang disediakan tentang pembagian
pengetahuan: penyebutan pertama relevan dengan informasi yang didasarkan pada
konteks pengetahuan H (meliputi pengetahuan latar belakang umum tentang
kesatuan lain dalam bidangnya). Penyebutan berikutnya diambil dari sumber
informasi tambahan, yaitu informasi yang secara tekstual telah diputuskan (mea
liputi, informasi yang tersedia melalui penyebutan pertama). Penyebutan
berikutnya adalah yang relevan dengan informasi yang berdasarkan pengetahuan H
tentang teks dan konteks.
g. Pragmatik Model Grice sebagai
Sebuah Ancangan Wacana
Gagasan Grice tentang makna penutur dan prinsip kerja
sama dan hingga selanjutnya pengaplikasian gagasan tersebut untuk problem
khusus dengan cara menggunakan PK (secara khusus, maksim kuantitas dan
relevansi) untuk 'mendeskripsi kondisi orang yang menggunakan ekspresi berbeda
untuk maksud komunikasi referensial dalam wacana. kesimpulkan dengan mengatakan
bahwa tahapan acuan merupakan hasil yang secara pragmatik didasarkan pada
tekanan ketentuan, ketepatan kuantitas informasi dalam cara-cara yang relevan,
dan jika struktur wacana yang diciptakan melalui prinsip kerja sama. Aplikasi
PK wacana menuntun ke arah pandangan wacana khusus dan hal ini di analisis
bahwa wacana sebagai sebuah teks yang kontekstual (termasuk konteks kognitif,
sosial, dan linguistik) memberikan interpretasi makna penutur dalam tuturan.
Apa saja yang dikemukakan pragrnatik model Grice adalah seperangkat prinsip
yang membatasi tahapan pilihan dalam teks dan memberikan mitra tutur untuk
mengenali maksud penutur dengan membantu relevansi apa yang penutur “katakan”
(dalam sebuah tuturan) ke arah teks dan konteks.
Ancangan praginatik yang ditawarkan model Grice untuk
analisis wacana didasarkan pada seperan gkat prinsip umum tentang kerasionalan
perilaku komunikatif (PK) yang mengatakan penutur dan mitra tutur bagaimana
mengenali dan menggunakan informasi yang ditawarkan dalam sebuah teks,
bersamaan dengan latar belakang pengetahuan dunia (termasuk pengetahuan konteks
sosial secara langsung) untuk mengungkapkan (dan memahami) lebih dari apa yang
dikatakan-secara singkat, untuk komunikasiPenerapan prinsip tersebut menuntun
ke arah pandangan struktur wacana definite yang tahapannya
menggantung-batas-batas yang ditentukan oleh satu bagian wacana pada apa yang
muncul dalam tekssebab pengaruh prinsip komunika & “mum pada realisasi
linguistik makna penutur pada waktu yang berbeda.
Jadi, acuan peristilahan proses pragmatik
dalam wacana, yakni ada 7 acuan; acuan sebagai sebuah proses pragmatik dalam wacana, analisis
pokok model Grice: kuantitas dan relevasi, acuan sebagai proses wacana, pentingnya
metode dan data, analisis sampel: tahapan acuan dalam cerita, ringkasan: tahapan, relevansi, dan
kuantitas, acuan pragmatik model Grice
sebagai sebuah ancangan wacana.
h. Bentuk –
Bentuk Pragmatik
Pragmatik mengacu pada kajian
penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks. Bidang kajian yang berkenaan
dengan penggunaan bahasa pada konteks disebut dengan bidang kajian pragmatic
adalah deiksis, implikatur percakapan, praanggapan, dan tindak ujaran. Masing
bidang kajian diatas dibahas secara singkat di bawah ini :
1)
Deiksis
Deiksis adalah
gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan
acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan. Dengan kata lain adalah
bahwa kata ”saya, sini, dan sekarang”
ini tidak memiliki sebuah acuan yang tetap, melainkan bervariasi tergantung
pada berbagai hal. Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui siapa
yang mengucapkan kata itu. Kata sini memiliki rujukan yang nyata setelah
di ketahui di mana kata itu di ucapkan. Demikian pula,
kata sekarang ketika diketahui pula kapan kata itu diujarkan.
Dengan demikian kata-kata di atas termasuk kata-kata yang deiktis. Berbeda
halnya dengan kata-kata seperti meja, kursi, mobil, dan komputer. Siapapun yang
mengatakan, di manapun, dan kapanpun, kata-kata tersebut memiliki acuan yang
jelas dan tetap.
Contoh : hari ini bayar, besok
gratis. Demikian pula di dalam sebuah warung makan di sekitar tempat kos
mahasiswa, dijumpai sticker yang bertuliskan Hari ini bayar, besok
boleh ngutang. Ungkapan-ungkapan di atas memiliki arti hanya apabila
diujarkan oleh sopir mikrolet di hadapan para penumpangnya atau oleh pemilik
warung makan di depan para pengunjung warung makannya.
Deiksis dapat di bagi menjadi lima
kategori, yaitu deiksis orang (persona), waktu (time), tempat (place),
wacana (discourse), dan sosial (social):
1.
Deiksis
Persona
Istilah
persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani
prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara),
berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah
persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan
antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Lyons, 1977: 638 via
Djajasudarma, 1993: 44). Deiksis perorangan (person deixis); menunjuk peran
dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang
dibicarakan, dan entitas yanng lain.
Deiksis seseorang ditentukan menurut peran
peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu
kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan
dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua
ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang
pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, dan saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang
bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya
dia dan mereka.
Kata ganti
persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa
rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984: 106). Oleh
karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus
mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan
kedua akan dijadikan endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat
langsung menjadi kalimat tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).
Bentuk
pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk
tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung
bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal. Berbeda dengan kata
ganti persona pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik tunggal,
seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk sekalian dan
kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat endofora,
maka dapat berwujud anafora dan katafora (Setiawan, 1997: 9).
Deiksis
persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat
adalah deiksis jabaran. Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21)
bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat
serta waktu. Deiksis perorangan menunjukan subjektivitas dalam struktur
semantik. Deiksis perorangan hanya dapat ditangkap jika kita memahami peran
dari pembicara, sumber ujaran, penerima, target ujaran, dan pendengar yang
bukan dituju atau ditarget. Dengan demikian kita dapat mengganti kata ganti dan
kata sifat pada contoh (6) dengan contoh (7) atau (8) dalam proses ujaran.
(6) “Berikan
tangannmu kepadaku”
(7) “Berikan
tangannya kepadaku”
(8) “Saya berikan
tanganku kepadanya”
2. Deiksis Tempat
Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut
peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa termasuk bahasa Indonesia membedakan antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini)
dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar
-di situ) (Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh penggunaan deiksis tempat.
Contoh: a. Makanlah kamu di sini.
b. Di sini dijual peralatan
sekolah.
Frasa di sini pada kalimat (contoh a) mengacu ke tempat yang sangat
sempit, yakni sebuah kursi. Sedangkan pada kalimat (contoh b), acuannya lebih luas, yakni suatu
toko atau tempat penjualan yang lain.
3. Deiksis Waktu
Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti
yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis
(rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan,
1987: 41). Contoh pemakaian deiksis waktu dalam bahasa Inggris.
Contoh: a. “Saya membawa buku”.
b. “Saya membeli
buku”.
Meskipun tanpa keterangan waktu,
dalam kalimat (a)
dan (b), penggunaan deiksis waktu sudah jelas. Namun apabila diperlukan
pembedaan/ketegasan yang lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata/frasa
keterangan waktu; umpamanya, yesterday, last year, now, dan sebagainya. Contoh
dalam bahasa Inggris:
4. Deiksis Wacana
Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu
dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42).
Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali
kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan
atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian.
Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah
kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut,
begitulah, dsb. Sebagai contoh.
Contoh: a. “Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil
palawijanya”.
b. “Karena aromanya yang khas, mangga itu
banyak dibeli”.
Dari kedua contoh di atas dapat kita
ketahui bahwa -nya pada contoh (11a) mengacu ke paman yang sudah disebut
sebelumnya, sedangkan pada contoh (11b) mengacu ke mangga yang disebut
kemudian.
5. Deiksis Sosial
Deiksis
sosial berhubungan dengan aspek-asek kalimat yang mencerminkan
kenyataan-kenyataan tertentu tentang situasi sosial ketika tindak tutur
terjadi. Deiksis sosial menunjukkan perbedaan-perbedaan sosial (perbedaan yang disebabkan oleh factor-faktor
social seperti jenis kelamin, usia, kedudukan didalam masyarakat, pendidikan,
pekerjaan, dsb. yang ada para partisipan
dalam sebuah komunikasi verbal yang nyata, terutama yang berhubungan dengan
segi hubungan peran antara penutur dan petutur, atau penutur dengan topik atau
acuan lainnya. Dapat dikatan bahwa deiksis social itu adalah deiksis yang
disamping mengacu keadaan referen
tertentu, juga mengandung konotasi social
tertentu, khusus nyaa para deiksis persona. Dalam bahasa Indonesia hal itu tampak,
misalnya dalam penggunaan kata sapaan kamu, kau, anda, saudara, Tuan, Bapak,
Ibu, dsb. Dan deiksis persona bagii penutur seperti saya, aku, hamba, patik,
atau enggunaan nama diri. Dalam bahasa yang mengenal tingkatan-tingkatan (unda
usuk) bahasa, seperti bahasa jawa, perbedaan itu diwujudkaan dalam
bentuk-bentuk yang berbeda. Beberapa contoh ;
1) Majikan : “ Inem “
Pembantu : “ saya Tuan “
2)
( dalam bahasa jawa )
Majikan : “Inem “
Pembantu :
“ Dalem, ndara “
Penggunaan saya ( dalem
) dan Tuan ( ndara ) menunjukkan hubungan social antara dua orang yang
kedudukannya tidak sejajar (tidak seemitris), seperti hubungan antara majikan dan pembantunya. Jadi, sebenarnya ada
banyak aspek pengguna bahasa yang bergantung kepada hubungan sosial antara
penutur-penutur itu, tetapi penggunaan ini hanya relevan bagi deiksis sosial
yang sudah digramatikalkan, seperti pronominal yang mengandung rasa “sopan “
dan kata sapa. Harus ada pula diakui adanya banyak manifeestasi dari deiksisis
social dikodekan dalam banyak bahasa, yaitu relasional (relation) dan mutlak
(absolute) yang relasion itu berhubungan dengan relasi-relasi antara :
(a) Penutur dan acuan (misalnya honorifiks acuan)
(b) Penutur dan petutur (misalnya honorifiks petutur)
(c) Penutur dan pendengar/penonton yang bukan petutur
(misalnya honorifiks pendengar)
(d) Penutur dan latar (misalnya tingkat-tingkat formalitas)
Ragam hubungan itu menjadi amat rumit dalam bahasa-bahasa yang mengenal
tingkat-tingkat tutur, atau unda usuk (bahasa jawa) atau sor- singgih (bahasa
bali).
Jadi, yang dimaksud dengan dieksis
yakni gejala semantik yang terdapat pada
kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan
mempertimbangkan konteks pembicaraan. Dieksis terdiri dari; dieksis tempat,
ruang, waktu, persona, wacana, dan sosial.
i. Implikatur Percakapan
Implikatur percakapan merupakan salah satu ide yang sangat penting dalam
pragmatik. Implikatur percakapan pada dasarnya merupakan suatu teori yang
sifatnya inferensial, suatu teori tentang bagaimana orang menggunakan
bahasa, keterkaitan makna suatu tuturan yang tidak terungkapkan secara literal
pada tuturan itu. Brown menjelaskan, “Implikatur percakapan berarti apa yang
diimplikasikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur tidak terungkapkan
secara literal dalam tuturannya”.
Contoh :
A : Wah panas sekali sore ini. Kamu kok tidak
berkeringat. Apa tidak kegerahan?
B : Tidak! Aku sudah mandi tadi.
Kalimat
jawaban B “aku sudah mandi tadi” secara literal tidak mempunyai sangkut paut
dengan kalimat pertanyaan dari B “Apakah tidak kegerahan?”. Namun secara
tersirat jawaban itu menyatakan bahwa B tidak kegerahan karena dia sudah mandi,
dan bagi siapa pun yang sudah mandi pasti tidak gerah lagi.
Jadi, Implikatur percakapan adalah suatu teori tentang bagaimana orang menggunakan bahasa, keterkaitan makna
suatu tuturan yang tidak terungkapkan secara literal pada tuturan itu.
3) Praanggapan
Jika
suatu kalimat diucapkan, selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan
kalimat itu, ikut turut serta pula tambahan makna yang tidak dinyatakan tetapi
tersiratkan dari pengucapan kalimat itu. Pengertian inilah yang dimaksud dengan
praanggapan. Kalimat yang dituturkan dapat dinilai tidak relevan atau salah
bukan hanya karena pengungkapannya yang salah melainkan juga karena
praanggapannya yang salah.
Contoh :
A : Anakmu yang bungsu sudah kelas
berapa?
B : Baru kelas dua SD.
Dalam
pertuturan diatas ada pengetahuan bersama yang dimiliki A dan B bahwa B
memiliki anak lebih seorang, karena ada tuturan yang bungsu berarti ada yang
sulung. Juga ada pengetahuan bersama bahwa anak-anak B sudah bersekolah. Tanpa
pengetahuan itu tentu A tidak dapat mengajukan pertanyaan seperti itu, dan B
tidak dapat menjawab seperti itu juga. Andaikata A hanya memiliki pengetahuan
bahwa B sudah mempunyai anak dan tidak punya pengetahuan bahwa anak B sudah
bersekolah A bisa bertanya dengan tuturan “Anakmu sudah sekolah belum?”.
Jadi, Praanggapan
adalah kalimat yang diucapkan dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan
kalimat yang turut dalam penambahan yang tidak dinyatakan akan tetapi tersirat
dalam pengucapan kalimat tersebut.
j. Tindak
Ujaran
Menurut Austin mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu. Austin secara
khusus mengemukakan bahwa tuturan-tuturan tidak semata-mata hendak
mengkomunikasikan suatu informasi, melainkan meminta suatu tindakan atau
perbuatan.
Dalam menganalisis
tindak ujaran atau tuturan, dikaji tentang efek-efek tuturan terhadap tingkah
laku pembicara dan lawan bicaranya. Austin membedakan adanya tiga jenis efek tindak tuturan, yaitu: tindak lokusi, tindak ilokusi, dan
tindak perlokusi. Tindak lokusi mengacu pada makna literal, makna dasar, atau
makna referensial yang terkandung dalam tuturan. Tindakan yang dilakukan
sebagai akibat dari suatu tuturan disebut tindak ilokusi. Dalam hal ini, tindak
ilokusi berarti “to say is to do”. Tindak perlokusi mengacu pada efek
atau pengaruh suatu tuturan terhadap pendengar atau lawan bicara.
Jadi, Tindak uaran yakni hendak
mengkomunikasikan suatu informasi, melainkan meminta suatu tindakan atau
perbuatan.
2. Analisis Percakapan
a.
Definisi Analisis Percakapan
Istilah
"etnometodologi" Garfinkel digunakan setelah istilah ini digunakan
dalam analisis cara ("doing dan kenowing") di bidang lintas budaya.
Etnobotani, sebagai contoh, ditekankan pada sistem kusus secara budaya tempat
orang-orang "mengetahui tentang" (klasifikasi, penamaan dsb.)
tumbuhan. Garfinkel (1974:16) menyatakan bahwa dia menggunakan istilah
"etno" dengan alasan sebagai beritut "Etno tampaknya mengacu
pada ketersediaan pengetahuan umum anggota masyarakat sebagai pengetahuan umum "apa
pun".
Focus analisis
percakapan pada percakapan, misalnya, memunculkan ketidakpercayaan idealisasi
etnometodologis sebagaidasar baik untuk ilmu sosial ataupun tindakan manusia
sehari-hari. Analisis percakapan berfokus pada detail peristiwa nyata: analis
merekam percakapan yang terjadi tanpa rekayasa peneliti. Analis juga memproduk
transkripsi peristiwa yang berusaha untuk memproduksi apa yang telah dikatakan
(detail linguistik, misalnya pelafalan dan detail nonlinguistik, misalnya cara
bernafas) dengan cara menghindari presuposisi (pradugaan) tentang apa yang
mungkin penting baik bagi partisipan ataupun para analisis. Secara ringkas,
analisis percakpan mendekati wacana dengan memepertimngkan cara partisispan
dalam pembicaraan yang membangun solusi sitematis pada masalah organisasional
percakan secara berulang-ulang.
Jadi, selain analisis percakapan merupakan
sebuah ancangan pada wacana yang menekankan konteks, relevansi konteks tetap berdasarkan
teks.
b.
Analisis Sample " There + BE +
ITEM "
Analisis
percakapan mendekati wacana dengan memperhatikan bagaimana partisipan dalam
pembicaraan membangun solusi sitematis pada masalah organisasional secara
berulang-ulang. Masalah yang dipecahkan adalah membuka dan menutup pembicaraan,
pengambilan giliran, perbaikan, pengturan topik, penerimaan informasi, dan
menunjukkan persetujuan dan ketidak setujuan. Solusi pada masalah itu ditemukan
melalui analisis ketat terhadap bagaimana partisipan itu sendiri berbicara dan
terhadap aspek pembicaraan yang mereka bicarakan sendiri: Analisis percakan
menghindari penempatan beberapa kategori (apakah sosial atau linguistik) yang
memiliki relevansi terhadap partisipan sendiri yang tidak ditunjukkan dalam
pembicaraan nyata.
Analisis sampel dalam bagian ini
mempertimbangkan bagaimana sebuah alat tunggal di tujukan untuk pengelolaan
beberapa masalah percakapan. Untuk melakukan ini, kami perlu melokalisasi semua
kejadian alat itu dalam korpus pembicaraan dan mencari pola secara
berulang-ulang dari penggunaan (berdasarkan distribusi secara berurutan) dalam
data, menunjukkan bahwa apa yang dihipotesiskan diharapkan erurutan ditujukan
secara nyata pada partisipan. Dengan egitu, kami kan menunjukkan ahwa harapan
dan setruktur memecahkan masalah organisasional: solusi ini mungkin muncul
(atau di aplikasikan) pada masalah lain (Levinson,1983:326).
1) "Penyebutan", "
There + BE + ITEM," dan pasangan terdekat.
Bagian
ini mempertimbangkan bagaimana penyebutan-pertama dan penyebutan- berikutnya
dari sebuah ITEM disajikan dalam “there + BE + ITEM” yang dikaitkan dengan
organisasi pasangan terdekat. “ There + BE + ITEM” ditemukan dalam dua jenis
pasangan pertanyaan/jawaban (Q/A) yang disispkan dalam pembicaraan, baik
sebagai peraturan ataupun penyisipan urutan.
a. "There + BE + ITEM"
dalam pasangan pertanyaan/ jawaban independen.
b. "There + BE + ITEM" yang
disisipkan pasangan pertanyaan/ jawaban.
c. Ringkasan : "There + BE +
ITEM" dalam pasangan terdekat
2) "There + BE + ITEM" dan organisasi giliran
pada berbicara.
3) "There + BE + ITEM" dan organisasi topic
Dalam
bagian ini, kita mendiskusikan bagaimana "There + BE + ITEM” dapat
membantu mengelola masalah ini. Saya mengfokuskan pada peranan "There + BE
+ ITEM” dalam Sacks (1972:15-16) yang menyebutkan tahap transisi topik “ciri
umum organisasi dalam pergeseran dari satu topik lain, tidak dengan menutup
topik yang diikuti dengan memulai topik lain, tetapi dengan gerak bertahap,
yang mana melibatkan pengikatan apa pun yang sedang diberi pengantar dengan apa
yang telah dibicarakan, dengan demikian sama dengan yang diketahui beberapa
orang, topik baru tidak dimuali, meskipun kita jauh dari yang kita mulai dulu”.
Transisi
topik terhadap mungkin dibangun dengan beberapa cara. Meskipun deskripsi Sacks
tentang pergeseran dari satu topik ke topik lain tidak memerlukan transisi leksikal
secara eksplisit, maka kemungkinan secara linguistik menandai transisi bertahap, yaitu melalui
repetisi dan ikatan metalinguistik.
4) "There + BE + ITEM" dan
organisasi penyebutan
Jadi,
Analisis
percakapan yang mendekati wacana dengan memperhatikan bagaimana partisipan
dalam pembicaraan membangun solusi sitematis pada masalah organisasional secara
berulang-ulang.
c. Analisis Percakapan Sebagai Ancangan Wacana.
Ancangan wacana analisis percakapan
mempertimbangkan cara partisispan dalam percakapan mengkontruk solusi
sistematis ke arah problem tutur organisasional terdekat. Penemuan solusi tersebut
hingga kedekatan analisis rangkaian kemajuan bertutur. Dengan dengan berfokus
pada cara "There + BE + ITEM”mengizinkan sebutan-pertama,
sebutan-berikutnya, dan hanya-sebutan-dalam kaitannya dengan pasangan
berdekatan, pemberian-giliran, dan menejemen topik-kami memandang bukan hanya
bagaimana perhatian rangkaian kemajuan tuturan dapat mengungkapkan distribusi
dan fungsi-fungsi interaksional fenomena percakapan. Tetapi bagaimanapun
atensi-atensi menyarankan ketergantungan diantara tugas dan di antara
penyelesaian sistem.
Jadi,
analisis percakapan sebagai ancangan wacana adalah mempertimbangkan cara
partisispan dalam percakapan mengkontruk solusi sistematis ke arah problem
tutur organisasional terdekat.
3. ANALISIS VARIASI
a. Definisi
Analisis Variasi
Linguistik berpengaruh dalam ancang-ancang variasi wacana. Banyak
permasalahan yang tertuju pada variasionis yaitu permasalahan yang sudah
diketahui linguis pada umumnya, misalnya dalam permasalahan perubahan
linguistik. Persoalan yang lain adalah perkembangan yang sangat cepat dari
analisis variasi, hal ini memerlukan pemecahan dalam hal analisis kelebihannya
secra teoritis, dan atau peralatan metodelogi deskripsi linguistik (misalnya
variasi bebas), atau bidang dialek. Wacana juga menjadi masalah tersendiri pada
analisis linguistik. Solusi untuk masalah-masalah ini adalah linguistik
tradisional sisi dalam (inside) dan
sisi luar (outside). Riset
variasionis terhadap unit-unit dalam (dan dari) wacana yang membebani secara sistematis dan terpola
memilki hubungan satu dengan yang lain.
Jadi, analisis variasi berfokus pada
pembatasan sosial dan varian linguistik secara semantik, ancangan tersebut juga
diperluas ke arah teks.
1) Unit-unit Wacana
Labov (1972b; Labov dan Waletsky 1967) memberikan kerangka yang
sistematis pada analisis variasi narasi lisan. Sebuah kerangka yang
mengilustrasikan dengan sangat baik ancangan variasionis pada unit-unit wacana.
Kerangka ini mendefinisikan narasi sebagai bentuk khas unit wacana, dan
membatasi bagian-bagian narasi sebagai unit-unit yang lebih kecil yang
mempunyai identitas berdasarkan pada perangkat linguistik (sintaksis, semantik)
dan atas peran mereka dalam narasi.
Analisis variasi dikatakan realitas sosial, tetapi juga membawa pada
sebuah pengertian mengapa narasi telah memberikan sumber data yang segar untuk
analisis. Narasi adalah sebuah unit wacana dengan susunan yang baik dan
teratur, yang sangat bebas pada bagaimana mereka terlibat dalam lingkup
pembicaraan.
2) Hubungan Variabel dalam Wacana
Meskipun narasi adalah sebuah contoh dari unit tekstual, penting untuk
dicatat variasionis secara sederhana memfokuskan pada unit-init analisis
bukanlah teks yang melekat. Salah satu tugas utama dalam analisis variasi untuk
menemukan keterbatasan pada realisasi alternatif yang menggarisbawahi bentuk:
seperti keterbatasan (yang dapat menjadi linguistik dan atau sosial) yang
membantu menentukan realisasi perwakilan tunggal yang menggarisbawahi tampak
pada bentuk permukaan tuturan. Penemuan pola-pola dalam distribusi variasi
linguistik memerlukan langkah awal yang jelas: menetukan bentuk pengganti yang
mana satu dengan yang lainnya.
Unit yang penting dari analisis variasi adalah variabel linguistik.
Kerjasama dalam definisi variabel sebagai unit adalah secara empiris berasal
dari hubungan bentuk-bentuk awal dari ujaran. Cara-cara yang berbeda pada
pengucapan sesuatu yang sama adalah dikelompokkan bersama sebagai realisasi
alternatif bentuk yang digarisbawahi hanya karena mereka berdiri sebagai
hubungan yang seimbang yang satu dengan yang lainnya (baik keseimbangan
referensial atau fungsional).
3) Melokasikan Vernakular Tutur dalam
sebuah Komunitas
Analisis
linguistik berdasarkan pada ucapan orang daripada intuisi linguis pada
gramatikal dan ketepatan (perbandingan antara
paradigma fungsioanalis dan formalis). Kekiritisan mempunyai akses pada contoh
pembeicaraan yang menyediakan data yang cukup untuk analisis. Variasionis
mencari moel pembicaraan yang disebut logat. Logat adalah variasi yang
digunakann oleh pembicara yang kurang memperhatiakn pembicaraan. Logat juga
adalah model pembicaraan yang diperoleh pada usia sebelum remaja.
Data
variasi bahasa dialek diistilahkan logat, penting hanya selama sosial tertentu
dengan kondisi interaksi sosial tertentu . Salah satu kondisi seperti itu
adalah ketika pembicara menceritakan suatu narasi tentang pengalam pribadi.
Jadi, unit wacana yang sama yang berguna untuk variasionis karean keteraturan
tekstualnya, dana karena ini memungkinkan definisi lingungan untuk meletakkan
varian linguitik yang spesifik, juga berguna sebagai sumber dari logat bahasa
dimana pola variasi linguistik dan berubahnya mungkin ditemukan.
b. Analisis Sampel: “Daftar sebagai
Teks”
Pada
analisis ini terfokus pada unit wacana yang khusus sebagai contoh adalah
daftar. Daftar adalah susunan deskripsi yang terpusat pada kategori-kategori
dan anggota kelompok kategori. Meskipun telah membicarakan susunan narasi ini
digunakan sebagai kelemahan pada pembahasan daftar. Ini tidak bermaksud untuk
menguraikan struktur daftar-daftar, tetapi juga menyarankan perbandingan
struktur tekstual (variasi lintas teks) adalah sebanyak penerapan analisis
variasi sebagai bentuk perbandingan dan struktur dalam teks-teks (variasi tipe
teks). Tingkat perbandingan dapat menyumbang tidak hanya variasi tingkatan teks
(distrubusi tipe predikat antar klausa), tetapi juga bahkan lebih. Pada
pengertian tentang bagaimana kelompok masyarakat tutur memberikan penekanan
pada ujaran yang khusus suatu identitas sebagai contoh suatu gaya daripada yang
lainnya.
Jadi, dalam analisis variasi ini melihat unsur dalam teks itu
sendiri dan konteks yang mendukung teks tersebut. Unit dasar narasi adalah
peristiwa sedangkan unit dasar daftar adalah kesatuan. Dapat disimpulkan bahwa
narasi berkaitan dengan unsur konteks sedangkan daftar bekaitan dengan unsur
linguistik atau bahasanya, misalnya fonologi, morfologi, sintaksis atau dapat
juga dikatakan berkaitan dengan kohesi (keterpaduan tata bahasa) dalam wacana.
Hal ini perlu diperhatikan agar wacana yang diproduksi dapat dipahami oleh
mitra tutur.
a. Tipe-tipe
Variasi Linguistik yang Bersebrangan
Salah
satu perbedaan yang paling mendasar antara narasi dan daftar adalah narasi
menceritakan apa yang telah terjadi dan daftar menggambarkan sebuah kategori.
Beberapa perbedaan antara narasi dan daftar yang berasal dari (paling tidak
sebagian) dankenyataan bahwa menceritakan pengalaman berbeda dari menjelaskan
kategori. Kemudian beberapa perbedaan yang tertulis adalah unit daftar adaalah
suatukesatuan yang ada (daftar pokok) daripada sebuah peristiwa. Daftar
membentuk deskripsi daripada yang temporer dan struktur yang evaluatif.
Ancangan variasionis untuk teks terstruktur, teks dibentuk dari unsur pokok
linguistk yan mempunyai hubungan formal satu dengan lainnya.
b. Contoh
yang Mengatur Kategori dalam sebuah Daftar
Daftar
item dikenalkan melalui struktur pembagian status secara kategori (kelomok
inti) dan item itu mengenalkan melalui perbedaan struktur yang mempunyai status
kategori yang berbeda (sebagai kelompok yang tak mengenai kelompoknya). Daftar
adalah refleksi linguistik kategori dan organisasi kategoris. Karakteristik
dari daftar (bertolak belakang secara ringkas dan narasi) untuk memberi saran
bahwa daftar adalah wacan tingkat realisasi.
c. Unit-unit
Daftar Merupakan Kesatuan
Dasar-dasar
unit daftar (kesatuan pada basisi unit dari narasi (event). Perbandingan ini
belum merupakan refleksi asumsi variasionis tentang teks. Teks terdoiri dari
unit-unit yang lebih kecil yang membentuk konfigurasi didasarkan pada cara-cara
yang unit-unitnya dihubungkan dengan yang lainnya. Terbukti bahwa daftar dibagi
ke dalam kesatuan yaitu item dikenalkan pada daftar dengan cara terfokus pada
kesatuan per se, daripada apa yang
didasarkan pada semua kesatuan.
d. Cara
lain terfokus pada kesatuan daftar melalui elipsis
Elipsis
adalah ilustrasi yang menonjol pada daftar bagaimana daftar itu mengurangi
kebutuhan bedasarkan sesuatu pada setiap individual. Kelengkapan yang
dibutuhkan untuk diketahui kegunaan pencantumannya dalam daftar yang di
asumsikan (belum dimungkinkan) dari pengetahuan tentang kategori apa yang telah
dijelaskan.
e. Struktur
Informasi
Bagian ini
terfokus pada struktur informasi yang dibentuk melalui klausa-klausa pada teks. Untuk
menyederhanakan, narasi menceritakan sesuatu yang terjadi pada seseorang.
Pengalaman-pengalaman pada apa yang difokuskan pada narasi dapat meliputi
keadaan naratornya. Narasi dan daftar berbentuk dari dua tipe struktur
informasi yakni temporal dan deskriptif. Walaupun tipe-tipe teks ini sangat
berbeda pada istilahnya dimana pada struktur informasi adalah dominan.
Keterlibatan subjetivitas penuur dalam
menceritakan pengalaman, bagaimanapun juga berarti bahwa narasi juga
dibentuk dari struktur evaluasi.
1)
Struktur Temporer
Sudut
pandang penganut Labov tentang narasi menetapkan struktur temporer sebagai
kriteria utama dalam mendefinisaikan narasi: informasi temporer (apa yang
terjadi). Interpretasi dari narasi sebagian besar terletak pada penataan waktu
yang ada (periode waktu dalam hubungannya dengan sesuatu yang dapat di
asumsikan telah terjadi (Reichenbach, 1997)).
2) Struktur Deskriptif
Perbedaan
yang lain antara naratif dan daftar yang ada dalam deskriptif strukturnya.
Deskriptif dalam narasi khususnya ditempatkan pada latar belakang fungsi
(Labov, 1972b). Deskripsi dalam daftar memainkan aturan yang sangat berbeda.
Karena daftar tersebut adalah mutu dari teks itu sendiri yang dikategorikan
deskripsi. Tidaklah mengehrankan jika predikat statis bentuk verb (kk) yang
digunakan untuk membangun tata bahasa deskriptif dalam daftar.
3) Struktur Evaluatif
Kebutuhan
yang relatif dan fleksibel dari evaluasi
sangatlah penting untuk membedakan antara narasi dan daftar. Dan bahkan
lebih kritisnya sangtlah penting untuk membedakan antara narasi dan daftar dari
satu kejadian. Sebelumnya telah dibahas bahwa dasar dari bagian daftar adalah
kesatuan, yang segala sesuatunya “predikat (individual, kumpulan, rencana)”
sekarang dapat dilihat bahwa daftar yang pokok-pokoknya terencana melakukan
jenis pekerjaan yang dikategorikan sama sebagai daftar yang lain. Tapi
perbedaanya adalah bahwa kejadian-kejadian dalam narasi bekerja bersama-sama
untuk untuk membuat suatu poin tentang diri seseorang. Kejadian dalam narasi
terhubung bersama lewat suatu struktur yang terevaluasi.
2.3.3 Variasi dalam Teks
Mengilustrasikan
ancangan wacana dengan membandingkan tipe-teks, kembali lagi kearah tujuan yang
diambil oleh varaisionis: variasi di dalam tipe-teks tunggal. Lokus variasi
berubah dari tipe-teks saja ke bentuk level lebih rendah (misalnya sintaktik,
morfologis)yang distribusinya dapat ditemukan baik secara umum dalam wacan,
ataupun lebih khusus dalam tipe-teks tertentu. Seperti teks lain, daaftar juga
membiarkan analisis rangkaian hubungan antara “ungkapan” sebuah item. Daftar
menyampaikan seperangkat item gamblang yang relevansi awal dan akhir bukan
hanya terdapat dalam daftar itu sendiri, tetapi juga dalam kesenyapan khusus di
dalam daftar. Bentuk-bentuk tersebut membantu untuk mengidentifikasikan
rangkaian pembatasan pada acuan. Daftar juga unit wacana tertutup yang mana
satu kelompom secara konseptual dikaitkan menyatu dibawa ke dalam fokus mitra
tutur: acuan dibawa ke dalam wacana, digunakan untuk sementara, dan kemudian
disingkirkan.
Dalam
tindakan sebuah sebuah laporan pengalaman (sebagaimana dalam narasi), kesatuan
tersebut adalah fokus bicara. Itulah haarapan untuk bisa menemukan pembatasan
keinformasian yang benar-benar berbeda dari narasi. Hal ini sudah lazim bahwa
acuan pada kesatuan sensitif untuk kesenyapan dan transisi struktural di dalam
teks (misalnya Fox, 1989): dalam daftar, kesenyapan tersebut didasarkan pada
kategori. Dimulai dengan faktor yang sangat umum, bukan terbatas untuk daftar
saja, yang membatasi ketentuan dan keeksplesitan item-daftar: urutan ungkapan.
Selanjutnya kembali pada bagaimana faktor teks khusus yang tumbuh dari
organisasi daftar itu sendiri membatasi istilah acuan dalam daftar.
2.3.3.1 Keterbatasan Umum Wacana:
Urutan Ungkapan
Perhatian kunci
analisis wacana adalah pola rangkaiana, tidaklah mengherankan bahwa banyak
analisis acuan istilah dalam wacana terfokus pada rangkaian acuan. Dua pola
umum muncul dari sebuah riset: satu menekankan ketentuan (definitness); yang
lain, keeksplisitan. Ungkapan pertama acap kali frasa nomina tak tentu, ungkapan
berikutnya acap kali frasa nomina tentu. Pola rangkaian kedua menekankan
keeksplisitan: ungkapan pertama bertipe lebih eksplisit (yakni nomina penuh)
selanjutnya ungkapan berikutnya (pronomina).
Rangkaian
acuan dalam daftar juga memperlihatkan pola umum eksplisit sebagai
urutan-urutan dalam wacana lain. Ancangan variatif tidak selalu dilihat pada
penjelasan kasus individual bisa dilihat seperti pelanggaran suatu
ketidakleluasan kategorial. Mengidentifiksi tipe ketidakleluasan baru (juga
internal atau eksternal untuk sistem bahasa) menganalisis operasi dan mungkin
pertemuan pilihan-pilihan ketidakleluasan. Setelah melakukan analisis mengapa
terjadi ketidak leluasan kategorial, itu dikarenakan bahwa sebutan pertama bisa
tak tentu jika mitra tutur dapat menerima
informasi mereka bisa digunakan sebagai suatu kerangka konseptual dimana suatu
lokasi ditunjuk.
Faktor ini
diperhitungkan untuk inisial yang digunakan. Bagimanapun bahwa sumber yang
mendasarikemampuan masuk (accesbility) inisial tak tentu seharusnya merupakan
parameter perbedaan kontekstual, hanya beberapa yang spesifik pada daftar.
Beberpa inisial tak tentu menunjukpada pembicara-pembicara itu sendiri,
misalnya pembicara selalu melabuhkan pada suatu aturan kekeluargaan pada mereka
sendiri dengan kata ganti milik orang pertama (misalnya nenek saya, saudara
laki-laki tua saya).
Jadi, keterbatasan umum wacana: urutan ungkapan
yakni pola rangkaiana, yang analisisnya mengacu
kepada istilah dalam wacana terfokus pada rangkaian acuan.
2.3.3.2 Pembatasan Khusus untuk
Daftar
Walaupun
ungkapan bentuk rangkaian item-daftar lebih mirip dalam wacana lain, ungkapan
item daftar juga berbeda-beda pada cara yang timbul dari daftar oranisasi itu
sendiri. Hubungan kategori antara item-item daftar menetapkan secara struktural
dan transisi di dalam daftar yang dirfleksikan secara linguistik. Dilihat dalam
subbagian selanjutnya bahwa variasi dalam acuan istilah dibatasi oleh
batas-batas struktural. Dengan menganjurkan bahwa daftar menyajikan lingkungan
untuk acuan ekspresi yang setidaknya dipilih secara sebagian dari lingkungan
wacana. Anjuran ini selanjutnya meluruskaan ide bahwa rangkaian acuan dalam
daftar menjadi sensitif untuk pembatasan yang berasal dari tipe-teks itu
sendiri.
Jadi, yang dimaksud dengan pembatasan khusus untuk daftar
adalah batasan tematik dan pembatasan baru di dalam daftar dan membandingkan
pengaruh mereka pada acuan istilah dan pembatasan ini dibatasi oleh batas-batas
structural yang dianjurkan dalam penyajian lingkungan sebagai acuan ekspresi dalam
lingkungan wacana.
a) Sisi Bagian Dalam dan Bagian Luar
Daftar
Daftar
merupakan unit wacana yang relatif tertutup, kita bisa menemukan sebutan pada
item sebelumnya yang memilki sedikit pengaruh urutan pada sebutan-sebutan item
dengan daftar.
b) Ketidakleluasan Kategori
Dengan data
yang menyatakan tentang lebih pentingnya pembatas subkategori. Tiga cara
kategori dapat memengaruhi sebutan item-item dalam daftar: sebutan pertama,
karena seluruh anggota merupakan bagian dan kategori umum. Informasi leksikal
saling berhubungan, kata ganti bisa antecedent (kata yan mendahului).
c) Ketidakleluasan Subkategori
Dalam
keadaan menyeluruh suatu daftar (kategori merefleksikan acuan istilah-istilah ,
jadi banyak perbedaan dan pembatas antar subkategori. Kehadiran ketidakleluasan pembatas kategori
menggunakan pronouns, yaitu ungkapan
pronomina item-item daftar memiliki antecedents
dalam bagian daftar yang menjelaskan item-item daftar itu sendiri. Dengan kata
lain pergantian-pergantian anatar pronomina dan frasa nomina penuh dalam daftar
merupakan pembatasan yang ditimbulkan oleh bagian segmen daftar yang berbeda
dari bagian lain.
2.3.4 Ancangan Wacana Analisis
Variasi
Walaupun
kuantitatif memasukkan ancanagn wacana variasionis memiliki keuntungan. Hal itu
juga membatasi sejumlah perhatian ke arah kasus tertentu, konsentrasi atas tren
dan pola umum. Ancangan variasionis tidak selalu mencari penjelasan kasus yang
tampaknya melaanggar pola umum: hal ini konsisten dengan keyakainan bahwa
operasi pembatasan dalam penampilan probablistik (seorang berharap menemukan kekurangan
kemudian menyempurnakan distribusi komplementer) dalam menjawab tekanan
sinkronik daan diakronik dalam kehidupan sosial daan struktur bahasa.
Akhirnya
walaupun variasionis dapat berfokus pada variasi interaksional dan situasional
dalam teks, hal ini bukan lah menjadi tujuan yang dipersuasi dalam analisis.
Pembandingan tipe-teks dan analisis tekstual memberi pembatasan variasi
analisis lebih sistematis terhadap bagaimana tipe teks secara sosial
ditempatkan: mengedepankan faktor bagaimana wujud satu teks tertentu itu
dimotivasi secara linguistik darpada secara sosial.
Jadi, ancangan wacana analisis variasi
merupakan memasukkan wacana variasionis memiliki keuntungan dan ancangan
variasionis tidak selalu mencari penjelasan kasus yang tampaknya melaanggar
pola umum.
Contoh Wacana
D : Mbak, aku pakai singlet aja ya,
Kamarnya panas. (sambil membuka baju)
S: Eh, nanti dimarahi Mamamu
D : Sumuk aku Mbak
S : Jangan, ayo pakai lagi bajunya!
Sumber:
Schiffrin,
D. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar